Menunaikan amanah itu ternyata tidak mudah. Kesulitan itu dirasakan oleh hampir semua orang. Tidak sulit menemukan keluhan orang tua, seperti misalnya anaknya sering membolos, berani kepada orang tua, serba menuntut yang berlebihan, sholat lima waktu tidak tertib, belum dapat membaca al Qur^an secara lancar, dan bahkan lebih dari itu, tidak sedikit anak-anak ditengarai melakukan perilaku menyimpang seperti terlibat minum obat terlarang, dan sebagainya.
Problem seperti itu, kian hari bukanlah semakin berkurang, malah sebaliknya justru berkembang. Jika kita sempat mengikuti hasil penelitian tentang kehidupan remaja, surat kabar, majalah, atau bahkan juga perbincangan informal dalam berbagai kesempatan, kehidupan anak-anak dan remaja semakin memprihatinkan. Kenakalan anak, remaja, dan bahkan yang menginjak dewasa, terjadi di mana dalam bentuk yang beraneka ragam. Menghadapi persoalan ini, timbul pertanyaan, apa yang salah dalam pelaksanaan pendidikan kita, baik yang ada di rumah tangga, di sekolah, atau di masyarakat.
Disinyalisasi bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan cukup banyak. Di antaranya, informasi yang semakin terbuka luas, pengaruh oleh budaya materialisme dan hedonisme, nilai-nilai religius ataupun budaya luhur yang semakin terabaikan dan bahkan ditinggalkan, ditambah pendidikan yang sulit ditingkatkan kualitasnya. Itu semua ditengarai berpengaruh terhadap perilaku anak-anak atau remaja yang sedang berkembang, terutama dari kejiwaannya.
Orang tua, para tokoh masyarakat, dan juga pemuka agama akhir-akhir ini merasa terpanggil untuk mencari jalan keluar dari persoalan semua itu. Rupanya pendidikan dipandang sebagai faktor yang dianggap menjadi variabel yang harus memperoleh perhatian serius. Jika demikian maka pertanyaan yang segera muncul adalah, pendidikan seperti apa yang relevan dengan tantangan saat ini, baik dari tataran konsep maupun operasionalnya.
Pendidikan yang berorientasi praktis dan prakmatis tampak dengan jelas dari orientasi yang dikembangkan. Isu pendidikan lebih banyak terkait dengan lapangan kerja. Muncullah kemudian konsep-konsep yang terkait dengan lulusan siap pakai, siap kerja, siap latih, dan sejenisnya. Selain itu orang mengukur hasil pendidikan dengan ukuran-ukuran yang sederhana, seperti misalnya berapa lama kuliah dapat diselesaikan, berapa indeks prestasi yang dapat dicapai, berapa nilai UN, dan sejenisnya. Pendidikan disebut berhasil jika lulusannya cepat diterima di lapangan kerja, dan bergaji tinggi. Padahal, bukankah ukuran-ukuran seperti itu, sesungguhnya adalah jauh dari konsep yang lebih luhur, misalnya agar bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, dan seterusnya. Jika ukuran-ukuran yang selama ini dikembangkan masih bersifat sederhana seperti yang disebutkan itu, maka makna pendidikan belum menyentuh aspek yang lebih substansi atau yang lebih bersifat hakiki.
Kelemahan lainnya ialah pendidikan berjalan secara paradoks. Jika pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan, dan penghargaan maka yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari justru sebaliknya. Uswah hasanah yang seharusnya didapatkan oleh anak-anak ternyata tidak mudah diperoleh. Sekali lagi contoh atau uswah hasanah masih sulit didapat oleh anak. Orang tua demikian mudah beralasan tatkala meninggalkan kegiatan yang juga dianjurkan agar dilaksanakan oleh anak-anaknya. Selain uswah hasanah yang juga sulit diwujudkan adalah proses pembiasaan yang bernuansa pendidikan Islam. Kegiatan seseorang biasanya terpola oleh kebiasaan yang dilakukan. Jika seseorang terbiasa ke masjid setiap mendengar adzan, maka ia akan merasa tidak enak jika meninggalkan kebiasaan itu, dan sebaliknya. Kenyataan yang banyak kita saksikan adalah justru terbiasa meninggalkan panggilan adzan itu. Manusia Seutuhnya. Konsep manusia seutuhnya pernah dijadikan jargon pembangunan. Pendidikan, misalnya, harus mampu mengantarkan anak manusia menjadi manusia yang utuh. Begitu pula, pembangunan nasional diarahkan agar mampu meningkatkan kualitas manusia seutuhnya. Tetapi yang patut dipertanyakan adalah, apakah yang dimaksud dengan manusia seutuhnya itu. Benarkah konsep itu telah dipahami sepenuhnya?
Kenyatan seperti itu menjadikan pendidikan yang utuh semakin sulit diperoleh. Yang terjadi adalah pendidikan berjalan secara terpragmentasi atau perpilah-pilah yang mengedepankan sebagian dan mengabaikan bagian lainnya. Fenomena seperti ini berakibat pada rendahnya pemahaman dan pengahayatan agama oleh sebagian banyak orang yang tak mengenyam pendidikan agama. Akibat lemahnya pemahaman agama itu, mereka tidak merasa gelisah bahkan tak merasa perlu terhadap kitab suci, walaupun dia mengaku seorang yang beragama.
Al Qur’an dan Pendidikan Anak
Ukuran keberhasilan hidup sebagaimana yang disebutkan dengan konsep taqwa ini, ternyata dalam kehidupan sehari-hari kurang dihayati. Kalaupun digunakan, sifatnya formal. Misalnya, seorang calon pejabat pemerintah dipersyaratkan bertaqwa kepada Tuhan. Persyaratan seperti itu dalam prakteknya tidak jelas. Ukuran-ukuran tentang ketaqwaan itu tak pernah dirumuskan, sehingga semua orang dianggap telah bertaqwa.
Orang mengukur keberhasilan hidup dengan bermacam-macam ukuran sesuai dengan tradisi atau budaya masyarakatnya. Orang Jawa misalnya, seseorang disebut sukses dalam hidupnya secara gradual jika telah bekerja, kawin, memiliki rumah, kendaraan, simbul-simbul kekuatan, dan mampu menyalurkan hobi (kukilo). Maslow membagi kebutuhan manusia menjadi beberapa tingkat, mulai kebutuan yang bersifat fisiologis, rasa aman, kebutuhan memiliki dan sosial, penghargaan dan status, dan aktualisasi diri.
Akhir-akhir ini, entah oleh sebab apa, sementara orang mulai sadar bahwa kebahagiaan tidak cukup diraih hanya karena berhasil mengumpulkan harta atau meraih jabatan tinggi. Sekalipun kelebihan di bidang tersebut tetap dianggap penting, tetapi usuran itu bukan segalanya. Sementara orang, sementara ini sudah mulai cenderung merasakan betapa pentingnya kekayaan lain, berupa budi pekerti dan kedalaman sepiritual. Dalam berbagai pertemuan dengan orang tua, saya pernah mengajukan pertanyaan mana yang lebih dipentingkan jika kita harus memilih, memiliki anak yang cerdas tetapi berperilaku kurang terpuji atau anak yang akhlaknya terpuji tetapi kurang cerdas. Opsi cerdas dan terpuji sengaja tak dimunculkan, sebab semua orang tua pasti memilih alternatif itu. Ternyata, semua orang yang saya tanya lebih memilih anak berakhlak terpuji sekalipun kurang cerdas. Pilihan seperti ini menunjukkan bahwa faktor budi pekerti, akhlak, atau ketaqwaan lebih diutamakan dari lainnya.
Al Qur’an memberikan tuntunan tentang bagaimana pendidikan seharusnya dijalankan. Al Qur’an memberikan tuntunan bagaimana pendidikan dijalankan, ternyata sangat komprehensif dan menarik. Jika kehadiran Rasulullah dipandang sebagai pembawa ajaran untuk menyelamatkan umat manusia dalam pengertian luas, atau tegasnya sebagai pendidik, maka tugas itu dijelaskan dalam al Qur’an. Tugas itu, pertama, ialah mengajak umatnya melakukan tilawah. Yang diserukan oleh Rasulullah adalah membaca, yang dalam hal ini adalah membaca jagad raya. Rasulullah atas petunjuk Allah swt., memahami betul tentang jagad raya ini. Bahkan ia tahu tidak saja benda-benda di bumi, melalui isro’ dan mi’raj, Ia mengetahui berbagai planit di jagad raya ini. Rasulullah melalui wahyu mengetahui tentang perputaran bumi, bulan dan matahari. Dalam perputaran benda-benda alam ini, siapa mengelilingi apa, berputar pada apa, semua diketahui oleh rasulullah lewat wahyu yang diterimanya. Umat Islam melalui wahyu yang diterimanya diajak memahami itu semua. Sekarang ini anak-anak di sekolah diajari fisika, biologi, kimia, matematika, ilmu sosial, bahasa dan seterusnya. Jika pelajaran ini dipandang sebagai usaha memenuhi tutunan agar melakukan tilawah sebagaimana ajaran Rasulullah, akan menghasilkan semangat dan sekaligus kekaguman sehingga berdampak pada tumbuhnya keimanan. Sayang sekali, anak-anak saat ini belajar pengetahuan itu, kadangkala sebatas agar lulus ujian akhir
Kedua, tugas Rasulullah sebagai pendidik adalah melakukan tazkiyah, artinya mensucikan. Agar anak manusia menjadi baik, luhur dan mulia maka ia harus disucikan baik lahir maupun batinnya. Secara lahir, anak harus dijaga makanannya, tidak saja makanan itu sebatas memenuhi syarat empat sehat lima sempurna. Lebih dari itu, makanan yang masuk dalam tubuh harus baik dan halal. Makanan seperti itu yang menjadikan jasmani menjadi sehat. Akan tetapi manusia sebagai makhluk yang memiliki akal, jiwa dan hati, harus disucikan. Melakukannya melalui upaya-upaya mendekatkan diri pada Allah, melalui kegiatan spiritual seperti banyak berdzikir, mengingat asma Allah, sholat lima waktu, dan sholat sunnah lainnya, berpuasa, haji, bergaul dengan orang-orang sholeh dan lain-lain. Aktivitas itu semua menjadikan jiwa raga kita bersih dan kemudian menjadi sehat. , Ketiga, taklim, yaitu mengajari Kitab Suci. Pendidikan hendaknya mampu membawa anak didik memahami kitab suci. Tradisi di masyarakat kita, belum tumbuh kesadaran secara merata bahwa memahami kitab suci adalah sebagai hal penting. Sementara ini baru sampai menganggap penting membaca kitab suci, yakni membaca al Qur’an. Kegiatan itu disebut mengaji. Jika anak sudah mau mengaji dianggap sudah beruntung, sekalipun tidak disertai pemahaman yang cukup. Padahal sesungguhnya, dalam petuah yang di-jawa-kan saja, dianjurkan agar semua orang mau moco Qur’an angan-angan sakmanane, artinya petuah itu : membaca al Qur’an sambil menghayati maknanya. Keempat, Rasulullah mengajarkan hikmah atau kearifan. Seorang beragama harus arif dan bijak. Dalam melakukan sesuatu, dilihat dari berbagai sudut dan sisinya harus tepat. Apa yang diputuskan dan dilakukan selalu menguntungkan, menyelamatkan dan membahagiakan, dan sebisa-bisa tidak merugikan dan mencelakakan orang lain. Orang yang memiliki hikmah dan kearifan akan selalu menjadikan orang lain tentram dan terlindungi.